Kematian akal sehat


Ditengah hangatnya hingar bingar kontes music, Adi MS salah seorang juri, mencoba tenang dan hening. Tapi dengan musikalitasnya yang tajam, ia mengerti penampilan seorang gitaris yang menyimpan kekeliruan dalam petikan gitarnya. Penampilannya yang “menarik” tidak sanggup menutupi kesalahannya di telinga Adi MS. Ibaratnya, “taklukkan dulu zona pelan, sebelum ngebut di jalur cepat”, atau “jangan buru-buru bergaya, kalau belum benar-benar ahli”. Tapi dari kebiasaan kontes, setiap nasehat dan kritik Cuma akan disambut dengan teriakan “huuuu”. Pemujaan tidak hanya di ranah agama, tapi juga di panggung pop. Dunia itu tak butuh nasehat, hanya keyakinan sendiri.

Sejarah nabi selalu berulang dalam berbagai versi. Yakni tidak mudah menasehati umat sendiri. Akhirnya nasehat itu beredar di tempat yang jauh.

Kebaya encim Semarang, sekarang ramai dipertontonkan di Singapura karena gagal hidup di kota sendiri. Malaysia mengaku sebagai truly Asia, padahal seluruh nilai asia ada di Indonesia. Untuk menikmati taman kota dan budaya jalan kaki yang nyaman harus terbang ke Eropa, padahal Indonesia adalah zamrud katulistiwa. Inilah resiko kemersotan akal sehat.

Banyak soal-soal tak masuk akal jadi biasa. Berikutnya banyak pengulangan kesalahan-kesalahan yang sama. Ada kesibukan mengurus soal-soal yang belakang, daripada yang di depan. Hutang pada masa silam menggunung dalam tumpukan. Maka mendesak untuk menghidupkan kembali budaya akal sehat.