Pemahaman Hadis Dilihat dari Segi Kandungannya


PEMAHAMAN HADIS DILIHAT DARI SEGI KANDUNGANNYA

(AQIDAH, IBADAH, KETETAPAN HUKUM DAN AL-TARGHIB WA AL-TARHIB)

Pendahuluan

Usaha ulama ahli hadis pada abad V dan seterusnya adalah ditujukan untuk mengklarifikasikan hadis dengan metode menghimpun hadis-hadis yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat isinya dalam suatu kitab hadis. Disamping itu mereka mensyarhkan (menguraikan dengan luas) dan mengikhtisharkan (meringkas) kitab-kitab hadis yan telah disusun oleh ulama yang mendahulinya. Dengan demikian, lahirlah kitab-kitab hadis hukum dan kitab-kitab hadis Targhib wat-tarhib.[1]

Hadis menjadi point yang sensitif dalam kesadaran spiritual maupun intelektual muslim. Tidak saja karena ia menjadi sumber pokok ajaran Islam, tetapi juga sebagai tambang informasi bagi pembentukan budaya Islam, terutama sekali historiografi Islam yang cukup banyak merujuk pada hadis-hadis. Hadis menjadi semakin krusial ketika makin banyaknya masalah yang muncul, sementera Nabi dan sahabat telah banyak yang wafat.

Ketika Nabi masih hidup persoalan dapat dipecahkan dengan otoritas al-Qur’an atau Nabi Muhammad sendiri. Demikian pula pada masa sahabat, masyarakat dapat melihat praktek nabi yang dijalankan para sahabat. Tetapi setelah itu berbagai informasi tentang nabi menjadi sangat penting bagi kaum muslim. Itu sebabnya belakangan sangat banyak sekali muncul literatur hadis dalam berbagai bentuk dan jenisnya dengan muatan hadis-hadis yang cukup beragam.

Dalam kaitannya sebagai sumber pokok ajaran Islam, hadis pada umumnya lebih merupakan penafsiran kontekstual dan situasional atas ayat-ayat al-Qur’an dalam merespons pertanyaan para sahabat Nabi. Dengan demikian hadis merupakan interpretasi nabi saw yang dimaksudkan untuk menjadi pedoman bagi para sahabat dalam mengamalkan ayat-ayat al-Qur’an. Karena kondisi sahabat dan latar belakang kehidupannya berbeda, maka petunjuk-petunjuk yang diberikan nabi berbeda pula. Pada sisi lain, para sahabat pun memberikan interpretasi yang berbeda terhadap hadis nabi. Dari sini, maka hadis pada umumnya bersifat temporal dan kontekstual.

Berbagai macam kandungan hadis Rasulullah saw diantaranya:

  1. Aqidah

Rasul saw telah bersabda:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ[2]

 “Setiap bayi itu dilahirkan atas dasar fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yg membuatnya menjadi Yahudi Nashrani atau Majuzi.”

Akidah seseorang tergantung terlahir dari siapa orang tuanya. Jadi orangtua mempunyai peranan besar dalam meluruskan jalan hidup anak-anaknya. Hadis ini bersifat universal sebab tempat dan waktunya tidak menunjukkan adanya tendensitas.

Dalam menjelaskan definisi akidah ada disebut perkataan kepercayaan atau keimanan. Ini disebabkan Iman merupakan unsur utama kepada akidah. Iman ialah perkataan Arab yang berarti percaya yang merangkumi ikrar (pengakuan) dengan lidah, membenarkan dengan hati dan mempraktikkan dengan perbuatan. Ini adalah berdasarkan kandungan sebuah hadis:

“Iman itu ialah mengaku dengan lidah, membenarkan di dalam hati dan beramal dengan anggota”.

Walaupun iman itu merupakan peranan hati yang tidak diketahui oleh orang lain selain dari dirinya sendiri dan Allah swt namun dapat diketahui oleh orang melalui bukti-bukti amalan. Iman tidak pernah berkompromi atau bersekongkol dengan kejahatan dan maksiat. Sebaliknya iman yang mantap di dada merupakan pendorong ke arah kerja-kerja yang sesuai dan secucuk dengan kehendak dan tuntutan iman itu sendiri.[3]

  1. Ibadah

Diriwayatkan dari Abu Dzar, Rasulullah saw bersabda:

وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا[4]

Dan pada kemaluan (persetubuhan) kalian terdapat sedekah. Mereka (para sahabat) bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah salah seorang dari kami yang menyalurkan syahwatnya lalu dia mendapatkan pahala?’ Beliau bersabda, ‘Bagaimana pendapat kalian seandainya hal tersebut disalurkan pada tempat yang haram, bukankah baginya dosa? Demikianlah halnya jika hal tersebut diletakkan pada tempat yang halal, maka dia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)

Dalam hadits di atas disebutkan bahwa seks atau hubungan badan di jalan yang benar akan mendatangkan pahala besar (ibadah).

Diriwayatkan dalam shahihain, dari Anas bin Malik pernah menceritakan, ada tiga orang yang datang ke rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menanyakan tentang ibadah beliau. Ketika diberitahukan, seolah-olah mereka saling bertukar pikiran dan saling bercakap bahwa mereka tidak bisa menyamai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena dosa beliau yang lalu dan akan datang sudah diampuni. Lalu salah seorang mereka bertekad akan terus-menerus shalat malam tanpa tidur, yang satunya bertekad akan terus berpuasa setahun penuh tanpa bolong, dan satunya lagi bertekad akan menjauhi wanita dengan tidak akan menikah untuk selama-lamanya. Kabar ini pun sampai ke telinga baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas beliau bersabda kepada mereka, “Apakah kalian yang mengatakan begini dan begitu? Adapun saya, Demi Allah, adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepada Allah di bandingkan kalian, tapi saya berpuasa dan juga berbuka, saya shalat (malam) dan juga tidur, serta menikahi beberapa wanita. Siapa yang membenci sunnahku bukan bagian dari umatku.” (Muttafaq ‘alaih)[5]

  1. Ketetapan Hukum

أَتَى رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَنَادَاهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي زَنَيْتُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حَتَّى رَدَّدَ عَلَيْهِ أَرْبَعَ مَرَّاتٍ فَلَمَّا شَهِدَ عَلَى نَفْسِهِ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ دَعَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبِكَ جُنُونٌ قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ أَحْصَنْتَ قَالَ نَعَمْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اذْهَبُوا بِهِ فَارْجُمُوه[6]

“Seorang lelaki mendatangi Rasul lalu berkata, “ ya Rasul saya telah berzina “, tapi Rasul tidak menghiraukan dan memalingkan muka, sehingga lelaki itu mengulang sampai empat kali, dan pergi mencari 4 saksi, setelah menghadap Rasul, dengan saksi-saksinya, baru Rasul bertanya, “ apa kamu tidak gila ?’. Di jawab “ tidak “. Kemudian Rasul bertanya lagi, “ apa kamu sudah pernah nikah ?. “ Dijawab “ya”, Kalau begitu, bawalah orang ini dan rajamlah “ ( HR. Bukhari ).

Mengapa Nabi membuat hukum aturan pidana yang tidak ada nash dalam Alquran? Mengapa Nabi Muhammad “melanggar” ketentuan Alquran?

Jawabnya adalah segala aturan (yang disertai ketentuan hukuman badan) yang tidak diatur dalam Alquran merupakan Hak seorang Pemimpin Negara (Amir/Khalifah/Presiden) dengan tujuan supaya jika aturan itu diberlakukan maka keadaan masyarakat menjadi aman sejahtera. Para bajingan akan berpikir 1,000,000 kali (bukan cuma seribu kali) sebelum melakukan kejahatan. jadi Islam bermaksud membasmi “Niat”. Asalkan tiada Niat maka meskipun ada Kesempatan tidak akan ada orang yang berani berbuat jahat.

Horor dari Hukuman Badan semisal Rajam, Potong Tangan, rupanya dipertimbangkan para pemimpin (dan psikolog) zaman Nabi dahulu bakalan memberikan efek jera, efek cegah atas segala jenis kejahatan. Dan hasilnya sepanjang pengetahuan kami kejadian kejahatan semasa Nabi Muhammad dan 4 khalifah bisa dikatakan  ZERO CRIME.

Kalau protes ini dan itu bahwa hukum rajam atau hukum badan lainnya tidak manusiawi, itu karena asumsi berpikir layaknya seorang calon penjahat yang merasa bahwa suatu saat dapat saja anda atau anggota keluarga anda dapat saja menjadi obyek hukuman badan. Berpikir sebagai layaknya seorang penguasa negeri, bagaimana supaya negara bersatu aman tenteram sehingga pembangunan akan lancar dilakukan. contoh, di abad pertengahan kebiasaan kepala penjahat atau pemberontak digantung di tengah kota, di pinggir alun-alun atau di pintu gerbang kota, Supaya mengingatkan masyarakat akibat berbuat jahat.

Yang perlu diperhatikan adalah mekanisme sistem hukum rajam ini seperti penetapan saksi mata, pengakuan dan tata tertib lainnya.

Adanya hukum badan seperti rajam, potong tangan dalam Negara Islam ala Madinah Nabi Muhammad, maka tidak dikenal adanya penjara sekian tahun, penjara seumur hidup.[7]

  1. Al-Targhib Wa Al-Tarhib

Hadis Targhib adalah hadis yang isinya mengenai janji-janji yang menggemarkan.
Hadis Tarhib adalah hadis yang isinya mengenai ancaman yang menakutkan.[8]

Hadis al-Targhib wa al-Tarhib, yaitu hadis-hadis yang tujuannya ialah memberi anjuran akan sesuatu kebaikan dan memberi peringatan akan sesuatu keburukan. Hadis-hadis seperti ini tidak sepatutnya difahami secara zahir atau face value tetapi hendaklah dari sudut anjuran atau peringatannya.[9] Adapun hadis yang mengandung anjuran, sebagai berikut :

1049 – حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا الْمُغِيرَةُ بْنُ سَلَمَةَ الْمَخْزُومِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ وَهُوَ ابْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي عَمْرَةَ قَالَ دَخَلَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ الْمَسْجِدَ بَعْدَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ فَقَعَدَ وَحْدَهُ فَقَعَدْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ يَا ابْنَ أَخِي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا قَامَ نِصْفَ اللَّيْلِ وَمَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا صَلَّى اللَّيْلَ كُلَّهُ[10]

Rasulullah saw bersabda :”Baramg siapa shalat ‘Isya dengan berjama’ah, maka ia seakan-akan bangun shalat pada tengah malam. Dan barang siapa salat subuh dengan berjamaah, maka ia seakan-akan shalat malam seluruhnya.”(H.R. Muslim)

Dua rakaat solat Fajar adalah lebih baik daripada dunia dan segala isinya. [Sahih: Dikeluarkan oleh Muslim, al-Tirmizi, al-Nasa’i dan lain-lain, dinukil oleh al-Suyuti dalam al-Jami’ al-Saghir – no: 4465]

Hadis ini hanya sekadar menerangkan besarnya keutamaan dan fadhilat solat sunat 2 rakaat sebelum solat fardhu Subuh, ia tidaklah pula berarti bahwa orang yang melaksanakannya di pagi hari telah melakukan sesuatu yang paling baik sehingga dia tidak perlu lagi bangun untuk mengusahakan harinya tersebut.

Sedangkan hadis yang mengandung sebuah peringatan :

2580 – حَدَّثَنَا عَتَّابُ بْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ هُبَيْرَةَ قَالَ أَخْبَرَنِي مَنْ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اتَّقُوا الْمَلَاعِنَ الثَّلَاثَ قِيلَ مَا الْمَلَاعِنُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَنْ يَقْعُدَ أَحَدُكُمْ فِي ظِلٍّ يُسْتَظَلُّ فِيهِ أَوْ فِي طَرِيقٍ أَوْ فِي نَقْعِ مَاءٍ[11]

Rasulullah saw bersabda :”Takutlah kalian pada tiga tempat yang biasa menimbulkan laknat, ditanyakan,”Apakah tiga tempat yang bisa menimbulkan laknat itu, wahai rasulullah? Beliau bersabda :”Yaitu salah satu dari kalian kencing di bawah tempat duduk yang teduh, yang biasa digunakan berteduh, di jalan, atau tempat air.”(HR AHMAD)


[1]  Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadis, (Cet. I; Bandung: PT. Alma’arif, 1974), h. 59

[2] (CD-ROOM Al-Maktabah Al-Syamilah), Shahih Al-Bukhariy, J. 5, h. 182.

[4] Shahih Muslim, J.5, h.177.

[6] Shahih al-bukhariy,juz 21, h.86,no6317.

[7] Al Chaidar judul “Negara Islam Indonesia”

[10] Shohih Muslim, J 3, h. 392.

[11] Musnad Ahmad, J. 6, h. 112.

TOKOH PEMBAHARU HADIS ISLAM INDONESIA abad 20


Latar Belakang

Hadis berdasarkan kesepakatan ummat merupakan sumber syari’at yang kedua setelah al-Qur’an, ia merupakan sebuah narasi yang memberikan informasi tentang prkataan, perbuatan, yang disetujui atau pun tidak, dan sifat-sifat yang disandarkan kepada Rasulullah Saw baik dari segi akhlaq maupun individu beliau tanpa melihat batasan apakah kejadian tersebut setelah masa pengutusan beliau Saw sebagai Rasul Allah maupun sebelumnya, secara harfiyah hadis dapat dikatakan sesuatu yang baru atau sebuah berita yang disampaikan, jadi hadis dapat dikatakan sebagai sebuah berita yang datang dari Rasulullah Saw baik dalam bentuk perkataan, perbuatan dan atau pun persetujuan dari beliau Saw.

Terdapat istilah-istilah lain yang merupakan bentuk sinonim dari kata hadis diantaranya adalah as-Sunnah, al-Khabar dan al-Atsar, para ulama yang melakukan pengkajian secara khusus dalam bidang ini memiliki perbedaan dalam mendefenisikan antara satu istilah dengan lainnya, diantara mereka ada yang menyamakan antara ketiga dimana as-Sunnah, al-Hadist, al-Khabar dan al-Atsar adalah sama, diantara mereka ada yang memberikan perbedaan dimana as-Sunnah adalah hubungannya dengan perbuatan Nabi Saw yang bertalian dengan akhlaq beliau secara individu maupun muamalah sosial beliau Saw, sementara Hadis merupakan bentuk perkataan beliau Saw, adapun Khabar adalah segala bentuk informasi baik yang datang dari Nabi Saw maupun yang datang dari selain beliau Saw tentang keterangan-keterangn wahyu Allah Swt kepada Rasul-Nya Muhammad Saw , adapun Atsar adalah segala bentuk informasi yang datang dari Sahabat dan atau Tabi’in, namun terkadang pula disandarkan kepada Nabi Saw hanya saja dalam bentuk Muqayyad.

Hadis mulai terkodifikasi secara baik pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Azis, pengkodifikasian ini disebabkan karena Umar menganggap bahwa pelarangan pengumpulan dan penulisan hadis telah hilang disebabkan karena telah terkodifikasinya al-Qur’an dalam satu mushaf sehingga kekhawatiran tercampurnya al-Qur’an dengan hadis hilang dengan sendirinya, kemudian kekhawatiran beliau akan hilangnya hadis-hadis Nabi Saw yang pernah terjaga di dalam dada-dada para sahabat Nabi Saw, selain itu mengkodifikasian ini disebabkan karena menjamurnya para pembuat hadis-hadis palsu yang merupakan akibat dari perpecahan politis maupun mazhab.

Ketika hadis telah terkodifikasi, kemudian permunculanlah para pakar dan ulama yang berusaha untuk melakukan penyeleksian hadis baik dari segi periwayatannya maupun dirayahnya, dari segi periwayatan Imam Malik bin Anas dianggap sebagai orang pertama yang melakukan penyeleksian hadis dari sudut pandang periwayatannya sehingga tidaklah mengherankan jika Imam as-Syafi’y sebagai seorang ulama mengatakan bahwa jika terdapat sebuah hadis, maka Malik-lah bintangnya (ahlinya) , adapun dari segi dirayahnya, maka Imam al-Bukhary dianggap sebagai pelopor dalam ilmu dirayah hal tersebut tampak pada karya monumental beliau yaitu al-Jami’ al-Shahih, kemudian Imam Muslim dalam muqaddimah shahihnya, kemudian at-Tirmidzy dengan kitab illatnya.

Pasca mereka muncullah para ulama yang berusaha menghabiskan waktu mereka dalam melakukan penelitian terhadap hadis-hadis yang terkodifikasi untuk merumuskan sebuah bentuk pemikiran metodologis dalam melakukan pengkajian hadis sehingga bentuk peristilahan yang dipergunakan tidak mengalami kekalutan dan ketidakpastian, diantara mereka yang melakukan kajian untuk menentukan rumusan metodologis adalah Ar-Ramahurmudzi, al-Hakim an-Naisabury, al-Bagdady, al-Qadhy ‘Iyadh dan generasi-generasi ulama setelah mereka.

Adapun pengkajian hadis dan ulumnya di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari hubungan anatara muslim nusantara dengan pusat-pusat pendidikan yang ada di Timur Tengah khususnya pada abad ke-17 dan ke-18 yang merupakan masa yang panjang dan dinamis dalam sejarah sosio intelektual kaum muslim. Dan yang paling penting adalah pada pertengahan abad ke-19 dimana banyak sekali pemuda-pemuda jawa yang menetap di Mekkah dan Madinah untuk menimba ilmu. Bahkan banyak diantara mereka yang menjadi ulama pada kedua wilayah tersebut disebabkan karena keaktivan mereka baik secara intelektual maupun spiritual.

Namun perkembangan pengkajian Hadis dan kaedahnya di Indonesia semakin mendapatkan tempatnya dan bahkan semakin pesat adalah pada awal abad ke-20 dimana bermunculan para tokoh yang secara latarbelakang intelektual mereka tidak berasal dari pendidikan hadis, hanya karena disebabkan mereka adalah pengajar-pengajar hadis dan kaedahnya atau karena kajian-kajian mereka tentang permasalahan ke-Indonesia-an bersinggungan langsung dengan hadis-hadis Nabi Saw, sehingga mereka secara tidak langsung harus melakukan kajian terhadap hadis dan kaedahnya baik secara parsial maupun komprehensif.

Namun meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa studi hadis dan kaedahnya di indonesia dapat dikatakan baru disebabkan karena sangat sedikitnya karya-karya dibidang hadis dan kaedahnya yang dihasilkan oleh ulama Indonesia .

Adapun karya-karya Hadis dan kaedahnya yang dihasilkan oleh ulama Indonesia di awali oleh karya Syekh Muhammad Mahfudh al-Tirmisi dalam bidang Ilmu Hadis yang berjudul Dzawi An-Nazhar merupakan penjelasan dari kitab karya Imam as-Syuthy Manzhumah Ilmu al-Atsar, kemudian karya Mahmud Yunus (1899-1983) dalam bidang Ilmu Hadis yang berjudul Mushthalah al-hadits kedua karya ulama Indonesia ini ditulis dalam Bahasa Arab, kemudian lahirlah karya T.M Hasbi Ash-Shiddiqie (1904-1975) dalam bidang Hadis dan Ilmunya yang sangat banyak diantaranya adalah Koleksi Hadis-Hadis Hukum (9 volume), Mutiara Hadis (6 Volume), Beberapa Rangkuman Hadis, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis (2 Volume), Problematika Hadis Sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam, Rijalul Hadis, Sejarah perkembangan Hadis. Selain itu beliau juga memiliki sebuah karya yang merupakan keritik terhadap hadap hadis-hadis yang terdapat dalam karya monumental Imam al-Ghazaly yang berjudul Ihya’ulum al-Din. Selain beliau terdapat pula ulama indonesia lainnya yang memiliki karya-karya dalam hadis dan ilmunya seperti Muhammad Syuhudi Ismail (1943-1997) dengan karya beliau dalam ilmu hadis seperti; Pengantar Ilmu Hadis, Metodologi Penelitian Hadis, Kaidah Keshahihan Sanad, Hadis Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya. Kemudian Fatchir Rahman dengan karyanya ikhtishar Mushthalahul Hadis.

Sepeninggalan mereka bermunculuan pula lah para peneliti hadis pada abad 21 yang secara konsentrasi melakukan kajian-kajian dalam bidang hadis dan kaedahnya.

Berdasarkan analisis di atas, maka pada makalah ini penulis berusaha secara konsekuen dalam melakukan penelitian terhadap pemikiran Prof. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqie –yang selanjutnya di tulis T.M Hasbi- dalam kajian Hadis dan kaedahnya dengan berlandaskan pada rumusan-rumusan masalah berikut;

1. Bagaimanakah latar belakang kehidupan T.M Hasbi ?

2. Bagaimanakah latar belakang keilmuan dan perjuangan T.M Hasbi?

3. Bagaimanakah pemikiran T.M Hasbi dalam bidang hadis dan kaedahnya?

4. Apa-saja karya-karya beliau dalam hadis dan kaedahnya?

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Kahidupan T.M Hasbi (Biografi)

Beliau bernama lengkap Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqie selanjutnya ditulis T.M Hasbi yang dilahirkan pada tanggal 10 Maret 1904 di Lhokseumawe, Aceh Utara, Indonesia. Beliau adalah keturunan Aceh-Arab Ayahnya bernama Al Hajj Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husein ibn Muhammad Su‘ud, seorang ulama terkenal yang memiliki sebuah dayah (pesantren) dan seorang Qadhi Chik posisi tersebut ditempati oleh beliau setelah wafatnya mertuanya yaitu Chik Teungku Abdul Aziz. Ibunya bernama Teungku Amrah, puteri Teungku Abdul Aziz pemangku jabatan Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Kesultanan Aceh waktu itu. Beliau juga merupakan keponakan Abdul Jalil yang bergelar Teungku Chik di Awe Geutah dimana menurut masyarakat Aceh Utara dianggap sebagai wali yang dikeramatkan, kuburannya hingga saat ini masih diziarahi untuk meminta berkah. Paman beliau yang lain bernama Teungku Tulot yang menduduki jabatan pertama kali pada masa awal pemerintahan Sri Maharaja Mangkubumi.

Menurut silsilah, T.M Hasbi merupakan keturunan Abu Bakar ash-Ashiddieqy (khalifah pertama), generasi ke-37. Oleh karena itu, sebagai keturunan Abu Bakar ash-Shiddieqy, beliau kemudian melekatkan gelar ash-Shiddieqy di belakang namanya. Silsilah beliau adalah Muhammad Hasbi bin muhammad Husain bin Muhammad Su’ud bin Muhammad Taufiq ibnu Fathimy ibnu Ahmad ibnu Dhiyauddin ibnu Muhammad Ma’shum (Faqir Muhammad) ibnu Ahmad Alfar ibnu Mu’aiyidin ibnu Khawajaki ibnu Darwis ibnu Muhammad Zahid ibnu Marwajuddin ibnu Ya’qub ibnu ‘Alauddin ibnu Bahauddin ibnu Amir Kilal ibnu Syammas ibnu Abdul Aziz ibnu Yazid ibnu Ja’far ibnu Qasim ibnu Muhammad ibnu Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Masa kelahiran dan pertumbuhan beliau bersamaan dengan tumbuhnya gerakan pembaharuan pemikiran di Jawa yang meniupkan semangat kebangsaan Indonesia dan anti-kolonial. Sementara di Aceh peperangan dengan Belanda kian berkecamuk. Ketika T.M Hasbi berusia 6 tahun, ibunya, Teungku Amrah, meningggal dunia. Kemudian, beliau diasuh oleh bibinya yang bernama Teungku Syamsiah.

B. Latar Belakang Keilmuan dan Perjuangan T.M Hasbi

Ketika masih kecil, T.M Hasbi mulai belajar agama Islam di dayah (pesantren) –selanjutnya ditulis dayah– milik ayahnya disana beliau mempelajari qiraah, tajwid serta dasar-dasar fiqhi dan tafsir. Kemudian pada usia delapan tahun beliau mulai melakukan pengembaraan ilmu Pertama, TM Hasbi belajar di dayah Tenku Chik pimpinan Tengku Abdullah di Piyeung. Disini beliau memfokuskan pada ilmu nahwu dan shorof, setauh kemudian beliau pindah ke dayah Tengku Chik di Bluk Bayu disi beliau hanya setahun, kemudian beliau nyantri di dayah Tengku Chik Bang Kabu, Geudong, kemudian dayah Blang Manyak di Samakurok, dan akhirnya beliau melanjutkan pelajarannya di dayah Tanjung Barat di Samalanga sampai tahun 1925. dari dayah inilah T.M Hasbi mendapatkan ijazah dari gurunya untuk membuka dayah sendiri.

Selama pengembaraan ilmu dengan mengunjungi berbagai dayah dari satu kota ke kota lain yang berada dibekas pusat kerajaan Pasai selama 15 tahun (1910-1925). Dalam pengembaraan tersebut, ia pernah mendapatkan pelajaran bahasa Arab dari seorang ulama Arab yang bernama Syekh Muhammad ibn Salim al-Kalali (penyusun kamus Arab-Indonesia).

Ketika TM Hasbi nyantri di dayah Tanjung Barat secara sembunyi-sembunyi beliau belajar huruf latin dari anak gurunya yang juga merupakan kawannya di dayah tersebut, dan beliau dapat menguasainya dalam waktu singkat. Selain itu T.M Hasbi juga mempelajari Bahasa Belanda dari seorang Belanda yang belajar darinya Bahasa Arab, sehinngga T.M Hasbi mampu mengakses segala bentuk informasi dari media massa yang pada masa itu dikuasai oleh pemerintahan Hindia-Belanda.

Setelah T.M Hasbi mendapatkan ijazah dari gurunya di dayah Tanjung Barat, maka pada tahun 1925 beliau kemudian mendirikan dayah sendiri di Buloh Beureugang atas bantuan Hulubalang setempat, dayah yang didirikan oleh T.M Hasbi tersebut berjarak 8 Km dari kota kelahiran beliau. Di dayah inilah beliau memulai karir inetelektualnya.

Pada tahun 1927 beliau menerima tawaran Syekh Muhammad ibn Salim al-Kalali untuk merantau ke Surabaya yang bertujuan agar T.M Hasbi dapat mendalami gagasan-gagasan pembaruan di madrsah Perguruan Al-Irsyad sebuah organisasi keagamaan yang didirikan Syekh Ahmad Soorkati (1874-1943), seorang ulama dari Sudan yang terkenal memiliki pemikiran modern waktu itu. Di madrasah tersebut, T.M Hasbi menempuh pendidikan di madrasah tersebut dengan mengambil pelajaran takhassus (spesialisasi) dalam bidang pendidikan dan bahasa.

Pada tahun 1928 T.M Hasbi kembali ke Aceh, kemudian bersama dengan al-Kalali sahabat sekaligus guru beliau mendirikan madrasah yang diberi nama dengan madrasah Al-Irsyad di Lhokseumawe, hanya saja secara administratif madrasah ini tidak memiliki hubungan denga madrasah Al-Irsyad Surabaya tempat diaman T.M Hasbi pernah menimba ilmu, tetapi secara idealis madrasah ini mengikuti kurikulum dan proses belajar mengajar yang dikembangkan di perguruan Al-Irsyad yang ada di Jawa. Namun madrasah yang didirikan T.M Hasbi bersama dengan Al-Kalali ini kemudian kehabisan Murid karena tuduhan bahwa madrasah yang didirikannya tersebut adalah madrasah sesat dan belajar di dalamnya adalah menyesatkan disebabkan karena T.M Hasbi menggunakan sistem belajar mengajar ala kolonial (menggunakan bangku dan meja) yang dihembuskan oleh Abdullah TB.

Kegagalan T.M Hasbi dalam mengembangkan dayah dan madrasah yang beliau dirikan sebelumnya tidak menyurutuhkan semangat beliau untuk mendirikan sekolah baru lagi. Akibat dari tuduhan tersebut di atas T.M Hasbi memilih untuk pindah ke Krueng Mane tepatnya ke arah Barat Lhokseumawe, ditempat tersbut T.M Hasbi mendapatkan bantuan dari Teuku Ubit yang merupakan Hulubalang Krueng Mane untuk mendirikan madrasah yang diberi nama dengan Al-Huda dengan menggunakan kurikulum dan idealis madrasah Al-Irsyad yang pernah didirikannya bersama dengan al-Kalali di Lhoksumawe, namun pada akhirnya madrasah ini pun harus ditutup disebabkan karena terkena larangan pemerintah Hindia-Belanda. Kemudian T.M Hasbi kembali ke Lhoksumawe dan beralih sejenak dari aktivitas pendidikan kepada aktivitas politik. Pada masa T.M Hasbi terjun ke dunia politik beliau menulis sebuah buku yang diberi judul Penoetoep Moeloet akibat dari tulisannya tersebut T.M Hasbi harus meninggalkan Lhoksumawe dan pindah ke Kutaraja.

Pada tahun 1933 T.M Hasbi tiba di Kutaraja, kemudian belai bergabung dengan organisasi Nadi Ishlahil Islam yang merupakan organisasi pembaru di kota tersebut dan pada saat yang bersamaan beliau juga dinobatkan sebagai pimpinan redaksi Soeara Atjeh. Disamping itu beliau juga mengajar pada kursus-kursus yang diselenggarakan oleh JIB (Jong Islamietien Bond) Aceh dan menjadi pengajar pada sekolah HIS dan MULO Muhammadiyah.

T.M Hasbi pernah memimpin Muhammadiyah Aceh sehingga pada bulan Maret 1946 T.M hasbi disekap oleh Gerakan Revolusi Sosial yang gerakkan oleh PUSPA (Persatoean Oelama Seloeroeh Atjeh, didirikan pada tahun 1939), diman organisasi ini melihat bahwa Muhammdiyah Aceh di bawah kepemimpinan T.M Hasbi merupakan saingan. Akibat penyekapan yang misterius ini T.M Hasbi harus mendekam di dalam penjara di Kamp Burnitelog Aceh selama kurang lebih satu tahun, kemudian pada pertengahan tahun 1948 T.M Hasbi di dibebsakan dan diizinkan pulang ke Lhoksumawe akibat desakan Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Suatan Mansur dan Pemerintah Pusat melalui Wapres Moehammad Hatta, namun masih berstatus tahanan kota, barulah pada Februari 1947 Status tahanan kota T.M Hasbi dicabut dan dinyatakan bebas Residen Aceh.

Selama di Aceh T.M Hasbi selain menjadi pengajar di kursus-kursus dan sekolah Muhammadiyah beliau juga memimpin SMI (Sekolah Menengah Islam), selain itu beliau juga aktif berdawah lewat MASYUMI dimana T.M Hasbi menjadi Ketua Cabang MASYUMI Aceh Utara. Pada 20-25 Desember 1949 diadakan Kongres Muslimin Indonesia (KMI) di Yogyakarta dimana T.M Hasbi mewakili Muhammadiyah dan Ali Balwi mewakili PUSPA. Pada kongres tersebut T.M Hasbi menyampaikan Makalah dengan judul Pedoman Perdjuangan Islam Mengenai Soal Kenegaraan, disinilah oleh Abu Bakar Aceh memperkenalkan T.M Hasbi kepada Wahid Hasyim (Menteri Agama pada masa itu) dan K. Fatchurrahman Kafrawy. Setahun kemudian setelah perkenalan tersebut Menteri Agama memanggil T.M Hasbi untuk menjadi dosen pada PTAIN yang akan didirikan, sehingga pada Januari tahun 1951 T.M Hasbi berangkat ke Yogyakarta dan menetap di sana mengkonsentrasikan diri dalam bidang pendidikan. Pada tahun 1960 ia diangkat menjadi dekan Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jabatannya ini di pegangnya hingga tahun 1972. pada tahun 1962 T.M Hasbi juga ditunjuk sebagai dekan fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry, Darussalam. Kedalaman pengetahuan keislamannya dan pengakuan ketokohannya sebagai ulama terlihat dari beberapa gelar doktor (Honoris Causa) yang diterimanya, seperti dari Universistas Islam Bandung pada 22 Maret 1975 dan dari IAIN Sunan Kalijaga pada 29 Oktober 1975. Sebelumnya, pada tahun 1960, ia diangkat sebagai guru besar dalam bidang ilmu hadis pada IAIN Sunan Kalijaga.

T.M Hasbi pensiun dari jabatannya pada tahun 1972, dan beliau wafat pada tanggal 9 Desember 1975 di Jakarta, dalam usia 71 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Keluarga IAIN Ciputat Jakarta (sekarang UIN Syarif Hidayatullah). Pada upacara pelepasan jenazah, turut memberikan sambutan Buya Hamka (almarhum), dan pada saat pemakaman, dilepas oleh Mr. Moh. Rum (almarhum).

C. Pemikiran T.M Hasbi dalam Bidang Hadis dan Ulumnya

1. Pemikiran T.M Hasbi Tentang Sunnah

Umat Islam sepakat bahwasanya Sunnah adalah sumber hukum kedua setelah al-Qur’an yang merupakan bentuk perkataan, perbuatan dan atau pun Taqrir yang disandarkan kepada Rasulullah Saw baik yan bersifat Aqidah, Syariat, Muamalah maupun akhlaq. Para ulama telah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pengkajian, penelitian dan penyeleksian terhadap hadis-hadis Nabi Saw yang bertujuan untuk membedakannya dari perkataan, perbuatan dan taqrir yang disandarkan kepada selain beliau.

Kata sunnah berdasarkan defenisi leksikalnya adalah thariqah dan sirah yang berarti jalan atau metodologi. Sementara menurut etimologinya, maka akan ditemukan perbedaan defenisi antara Muhadditsin, Ushuliyyin dan Fuqaha.

Adapun Sunnah menurut Muhaddisin adalah segala apa yang berasal dari Nabi Saw baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, persetujuan ( taqrir ), sifat, atau sejarah hidup . Pendefinisian Muhaddisin ini tidak memiliki perbedaan dengan pendefinisian mereka terhadap kata Hadits. Namun dengan demikian Ibnu Taimiyyah meberikan perbedaan anatar defenisi Sunnah dengan Hadis dari sudut pandang defenisi etimologinya, beiau menjelaskan bahwa kitab-kitab yang di dalamnya terdapat berita-berita yang berasal dari Rasulullah Saw didalaamnya terkandung bebrapa kitab seperti; Tafsir, Sejarah dan peperangan, dan diantaranya terdapat hadis, sehingga hadis adalah segala sesuatu yang diucapkan atau disampaikan pasca di utusnya Muhammad Saw sebagai Rasul meskipun di dalamnya terdapat beberapa hal yang secara historis terjadi sebelum masa ke-Nabi-an.

Sunnah menurut Pendefenisian Ushuliyyin (ulama ushul fiqhi) adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Saw selain al-Qur’an, baik dari segi perkataan, perbiatan, atau pun taqrir yang dapat dijadikan sebagai dalil atas sebuah hukum syari’at.

Sementra menurut Fuqaha’ bahwa Sunnah adalah; Segala yang bersumber dari Nabi Saw yang tidak berhubungan dengan hal-hal yang bersifat fardhu atau pun wajib.

Perbedaan pendefinisian ini disebabkan karena perbedaan metodologis dimana Muhaddisin di dalam penelitiannya memposisikan Rasulullah Saw sebagai Imam tertinggi, pemberi jalan menuju kepada hidayah, pemberi nasehat sebagaimana berita yang disampaikan Allah Swt bahwa Rasulullah Saw merupakan uswah dan qudwah bagi kaum muslimin, sehingga para Muhaddisin mengambil seluruh yang bersumber dari Nabi Saw baik dari masalah sirah (perjalanan hidup), Akhlaq, kecenderungan, berita-berita, perkataan, dan perbuatan beliau Saw tanpa melihat apakah yang nuqil tersebut memiliki kandungan hukum syari’at atau pun tidak. Adapun Ushuliyyin memposisikan Nabi Saw sebagai Musyari’ yang menjelaskan kepada manusia tentang pranata sosial, dan sebagai peletak kaidah-kaidah dasar untuk para Mujtahidin setelah beliau, oleh karena itu mereka melihat sunnah hanya sebatas apa yang datang dari Nabi Saw dinyatakan dalam tiga kategori utama yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum syari’at. Sementara para Fuqaha memposisikan Nabi Saw sebagai manusia yang menjalankan hukum Allah Swt, sehingga mereka mereka melakukan penelitian terhadap hukum-hukum syari’at yang berhubungan dengan pekerjaan hamba baik yang bersifat wajib atau haram, atau mubah dan lainnya.

Dari ketiga pandangan di atas T.M Hasbi tergolong pada bagain yang kedua dan beliau lebih memilih untuk mendefenisikan Sunnah sebagaimana pendefenisian Ushuliyyin (para ahli ushul fiqh).

Selain itu T.M Hasbi secara tegas membedakan antara istilah Sunnah dengan Hadis dimana beliau memandang bahwa hadis adalah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi Saw, walaupun peristiwa itu terjadi hanya sekali saja disepanjang hayat beliau, adapun Sunnah adalah perbuatan Nabi Saw yang mutawatir, khususnya dari segi makna, namun jika dari segi penuqilan matan/lafalnya tidak mutawatir namun pelaksanaannya mutawatir, maka tetap dinamakan sunnah. Meskipun demikian beliau memandang bahwa kaum muslimin wajib untuk mengamalkan hadis dan sunnah dan menjadikannya pedoman pada setiap zaman dan tempat, sebab tidak dibenarkan sama sekali menyalahi hukum dan perintah Nabi Saw selama hadis tersebut adalah shahih dan tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an.

Memperhatikan pandangan T.M Hasbi di atas tentang Sunnah dan hadis, maka dapat dikatakann bahwa beliau menitik beratkan Sunnah pada wilayah amaliyah Nabi Saw baik yang mutawatir secara lafal, makna, maupun pelaksanaannya. Hal ini sejalan dengan pandangan para Fuqaha’ yang memposisikan Nabi Saw sebagai manusia yang menjalankan hukum Allah Swt. Namun pada wilayah pendefenisian saja T.M Hasbi memilih untuk berada pada sisi Ushuliyyin yaitu melihat sunnah dari segi Madlul al-Hukmy (petunjuk hukum). Namun ketika beliau menjelaskan tentang kata hadis, maka beliau cenderung menggunakan pendefenisian hadis menurut peristilahan para Muhaddisin yang secara lahir sejalan dengan pendefenisian mereka terhadap kata Sunnah.

Analisis ini menunjukkan bahwa T.M Hasbi cenderung menggabungkan seluruh bentuk peristilahan atau defenisi etimologi dari kedua istilah tersebut (Sunnah dan Hadis), yang membedakan diatara keduanya adalah kalimat pengikat dari kedua kata, dimana T.M Hasbi menyebutkan istilah Sunnah Matawatir baik dari lafal, makna mau pun pengamalan, dan menyebutkan istilah hadis dengan hadis shahih. Dimana keduanya wajib diamalkan oleh seluruh kaum muslimin kapan pun dan dimana pun mereka berada.

Adapun dalam istilah ulumul hadis atau ushulul hadis T.M Hasbi lebih memilih untuk menggunakan istilah Ilmu Dirayah Hadis dengan alasan bahwa penggunaan istilah Mushthalahul hadis untuk segenap macam Ilmu Dirayah adalah merupakan suatu tajawuz, oleh karena itu beliau menggunakan istilah ilmu dirayah untuk seluruh macam ilmu hadis, sengan mengasusmsikan bahwa Ilmu Diarayah sama dengan Ulumul Hadis atau Ushulul Hadis.

2. Metodologi Pengkajian T.M Hasbi terhadap Hadis dan kaedahnya

Metodologi pengkajian ulumul hadis – dalam istilah T.M Hasbi Ilmu Dirayah Hadis- yang dilakukan oleh T.M Hasbi dapat dikatakan menggunakan metodologi pengkajian yang bersifat komprehensif dimana dalam karya-karyanya T.M Hasbi senantiasa mendahulukan defenisi dengan mengungkapkan seluruh bentuk defenisi para tokoh, dan  defenisi-defenisi yang diungkapkan biasanya singkat hal tersebut dapat terlihat pada karyanya yang berjudul Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits. Namun jika terdapat permasalahan yang sifatnya dipertentangkan, maka beliau senantiasa berusaha menggunakan pendekatan kemperatif untuk menentukan sebuah kesimpulan yang tidak bertentangan dengan pemahaman para ulama salaf.

Adapun dalam masalah hadis T.M Hasbi mengunakan metodologi tahlili, maudhu’i dan muqaran. Dimana dalam pengkajian hadis beliau mengungkapkan judul kemudian memberikan penjelasan singkat berdasarkan pemahaman beliau terhadap hadis tersebut, setelah itu beliau mengungkapkan pendapat para tokoh terhadap hadis tersebut, lalu menghubungkannya dengan dengan hadis-hadis yang lain, jika hadis tersebut hubungannya dengan masalah aqidah dan akhlak beliau berusaha untuk tidak mengungkapkan pendapat-pendapat yang mengandung pertantangan di dalamnya, namun jika hadis tersebut berhubungan dengan fiqhi, maka beliau mengungkapkan seluruh pendapat para fuqaha’ untuk mengambil sebuah kesimpulan yang bersifat kontekstual.

D. Karya-karya T.M Hasbi Dalam Bidang Hadis dan Kaedahnya

Semasa hidunya T.M Hasbi telah menghasilkan 72 judul buku dan 50 artikel dalam bidang tafsir, hadith, fiqh dan pedoman ibadah.

Tafsir dan ilmu Al Quran:

1. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-nuur

2. Ilmu-ilmu Al-Qur’an

3. Sejarah dan pengantar Ilmu Al-Qur’an / Tafsir

4. Tafsir Al Bayan

Hadist :

1. Mutiara Hadist ( jilid I-VIII)

2. Sejarah dan pengantar ilmu hadist

3. pokok-pokok ilmu dirayah hadist (I-II)

4. koleksi hadist-hadist hukum (I-IX)

Fiqh :

1. Hukum-hukum fiqih islam

2. Pengantar ilmu fiqih

3. pengantar hukum islam

4. pengantar fiqih muamalah

5. fiqih mawaris

6. pedoman shalat

7. pedoman zakat

8. pedoman puasa

9. pedoman haji

10. peradilan dan hukum acara islam

11. interaksi fiqih islam dengan syari’at agama lain ( hukum antar golongan)

12. Kuliah ibadah

13. pidana mati dalam syari’at islam

Umum :

1. Al Islam ( Jilid I-II )

KESIMPULAN

Dari uraian-uraian di atas, penulis dapat meneyimpulkan beberapa poin berikut ini :

1. T.M Hasbi adalah seorang ulama yang otodidak yang kehidupannya ditempah dari dayah ke dayah dimana beliau adalah produk dalam negeri tetapi terkenal du dunia internasional.

2. Pemikiran belau dalam hadis dan ilmu hadis, krena beliau berangkat daripemahan fiqhy yang di pelajarinya dari ayahnya, maka kebanyakan dari karya-karya beliau lebih cenderung mengkaji hadis dengan menghubungkannya terhadap hukum, maka dari itu tidaklah mengherankan jika beliau lebih cenderung menggunakan pendapt Ushuliyyin dalam masalah Sunnah daripada yang lainnya. Adapun metodologi kajian T.M Hasbi dalam masalah Hadis, dan Ulumnya, beliau dapat dikatakan sebagai pengkaji yang sangat luas, dan kajiannya terhadap hadis dan ulumnya terkolong kajian yang sangat komprehensif yang menunjukkan keseriusan beliau dalam bidang hadis dan ulumnya.

3. Semasa hayatnya T.M Hasbi telah menghasilkan 72 judul buku dan 50 artikel dalam bidang tafsir, hadith, fiqh dan pedoman ibadah.