Kaya Jiwa


Bukanlah orang yang kaya itu karena banyak harta benda, akan tetapi orang kaya adalah orang yang jiwanya kaya ( Al-Hadits )

Kata “kaya” ini telah mengilhami jutaan orang di dunia untuk melakukan apa saja: berpikir, bekerja, menipu, mencuri, dan lainnya. Karal Marx, sempat menggegerkan panggung sejarah dunia gara-gara pikiran-pikirannya tentang kaya dan kekayaan. Orang-orang kaya disebutnya kaum borjuis. Baginya kaum Borjuis adalah biang segala mala petaka kesengsaraan para buruh yang disebutnya kaum proletar. Ia ingin buruh-buruh itupun ikut menikmati kekayaan seperti kaum borjuis.

Lain halnya dengan para pemikir kaum kapitalis semacam Warner Sombart, Grossman, Dukheim atau Weber. Mereka beranggapan bahwa kebebasan manusia justru terletak pada kebebasan memiliki kekayaan sejauh ia sanggup dan mampu.

Dalam dunia kapitalisme ataupun sosialisme, hal keadaan kaya atau tidak diukur dengan ukuran material-bendawi. Orang yang paling kaya harta dialah yang paling kaya. Mereka yang sedikit saja berkesempatan menikmati kekayaan disebutkan miskin. Mudah juga diterka bahwa dalam pikiran-pikiran materialistis semacam itu banyaknya harta adalah jaminan bagi seseorang untuk menjadi sejahtera dan bahagia. Tanpa harta digenggaman tangan tak akan pernah ada kebahagiaan.

***

Kecintaan pada harta dan kekayaan bukan hal yang aneh dalam diri manusia. Sejak diciptakan dilekati tabiat cinta pada harta, kekayaan dan materi ( QS. Ali Imron: 14 ). Karena itu tidak mengherankan apabila menjadi kaya dengan banyak harta benda menjadi idaman banyak orang. Bagi orang yang tidak terus berpikir (jahil) selesailah kebenaran hidup sampai di situ.

Bagi yang mau terus berpikir dan merenung, sabda sabda Rosulullah diawal tulisan ini tentu akan mencengkan. Beliau mengatakan salah besar bila kita mengukur kebahagiaan dengan banyaknya harta benda. Orang kaya adalah orang ‘kaya’jiwanya.

Kaya jiwa adalah sikap yang senantiasa merasa cukup dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup paling minimal, sekalipun melimpah ruah disekelilingnya. Hal ini kemudian memunculkan sikap menerima apa adanya ( qona’ah ). Contoh paling jelas adalah Rosulullah sendiri. Kurang apa beliau ? Seperlima dari harta rampasan perang menjadi miliknya. Puluhan kali memenangkan perang dan hanya sekali mengalami kekalahan. Tentu saja harta rampasan itu cukup menjadikan Rosulullah terkaya pada masanya. Belum lagi para sahabat disekelilingnya. Sahabat mana yang tidak merelakan hartanya untuk dipersembahkan kepada Rosul. Sebuah kehormatan bagi mereka dapat membahagiakan Sang Maestro Dunia itu. Pendek, kata sangat banyak potensi yang dimiliki nabi untuk menjadi kaya dalam ukuran nominal.

Tetapi bagaimana kenyataannya ? Rumah beliau masih tetap seperti saat pertama kali datang ke Madinah. Rumahnya sangat kecil sambungan mesjid pula. Nabi adalah orang paling suka sehari makan sehari puasa. Baju pun seringkali sobek dan ditambalinya sendiri. Lalu kemana harta rampasan perang, hadiah dari sahabat-sahabatnya dan dari tempat-tempat lain yang barang kali kita tidak tahu ? Tak pernah harta itu beliau gunakan untuk kesenangan pribadinya. Ia telah merasa cukup dan tidak kekurangan dengan keadaan seperti itu. Ia sedekahkan sesisanya. Diurusinya anak yatim; diberinya makan fakir miskin; siapapun yang meminta ia tidak ditolak. Seperti itulah Rosulullah yang kaya. Allah sendiri yang menyebutnya kaya :”Dan Ia dapati engkau dalam keadaan miskin, lalu Ia memberikan kekayaan” ( QS. Al-Dhuha : 8 ). Jiwanya yang kaya membuat benar-benar “kaya”.

By faizack Dikirimkan di publik